Oleh : Faisal Reza, SHI
(Staf. Panmud Gugatan MS Meureudu)
Sebelum uang diperkenalkan sebagai alat tukar, aktivitas ekonomi dan perdagangan dalam masyarakat menggunakan sistem barter, yaitu dengan cara menukarkan komoditas atau barang diantara para pihak yang melakukan transaksi. Dalam ekonomi barter, transaksi terjadi bila kedua belah pihak mempunyai dua kebutuhan sekaligus, yakni pihak pertama membutuhkan barang yang dimiliki pihak kedua dan begitu sebaliknya untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Sistem barter ini merupakan sistem pertama kali dikenal dalam sejarah perdagangan dunia sebelum abad VII M (sebelum masa Nabi Muhammad Saw). Tetapi system barter ini banyak menghadapi kendala dalam kegiatan perdagangan dan bisnis. Kendala-kendala itu antara lain, pertama, sulit menemukan orang yang diinginkan. Kedua, sulit untuk menentukan nilai barang yang akan ditukarkan terhadp barang yang diinginkan. Ketiga, sulit menemukan orang yang mau menukarkan barangnya dengan jasa yang dimiliki atau sebaliknya. Keempat, sulit untuk menemukakan kebutuhan yang akan ditukarkan pada saat yang cepat sesuai dengan keinginan. Artinya, untuk memperoleh barang yang diinginkan, memerlukan waktu yang terkadang relatif lama [1]. Bila ini terjadi terus, maka perekonomian mandeg dan lamban.
Mendapatkan kondisi seperti itu, mulailah timbul pikiran-pikiran untuk menggunakan benda-benda tertentu untuk digunakan sebagai alat tukar. Benda-benda yang ditetapkan sebagai alat pertukaran itu adalah benda-benda yang diterima oleh umum (generally accepted) benda-benda yang dipilih bernilai tinggi (sukar diperoleh atau memiliki nilai magis dan mistik), atau benda-benda yang merupakan kebutuhan primer sehari-hari. untuk mengatasi berbagai kendala dalam transaksi barter, manusia selanjutnya menggunakan alat yang lebih efektif dan efisien. Alat tukar tersebut ialah uang yang pada awalnya terdiri dari emas (dinar), perak (dirham).Allah menciptakan dinar dan dirham sebagai hakim dan ukuran harga suatu barang. Misalnya, seekor unta sama dengan seratus dinar, sesekor kambing 20 dinar, segantang gandum 1 dirham, dsb.
Uang Dalam Ekonomi Islam
Uang dalam bahasa arab berasal dari kata Nuqud yang berasal dari akar kata naqdu yang mengandung beberapa pengertian yaitu : al-naqdu berarti yang baik dari dirham, menggenggam dirham, membedakan dirham, dan al-naqdu juga berarti tunai atau pembayaran kontan [2]. Dalam al-Quran dan hadist tidak terdapat Kata nuqud, karena bangsa Arab umumnya tidak menggunakan nuqud untuk menunjukkan harga. Mereka menggunakan kata dinar untuk menunjukkan mata uang yang terbuat dari emas dan kata dirham untuk menunjukkan alat tukar yang terbuat dari perak. Sedangkan kata fulus (uang tembaga) adalah alat tukar tambahan yang digunakan untuk membeli barang-barang murah.
Para Fuqaha menjelaskan bahwa uang tidak terbatas pada emas dan perak yang dicetak, tapi mencakup seluruh jenisnya dinar, dirham dan fulus. Tetapi mereka berbeda pendapat mengenai fulus apakah fulus termasuk dalam istilah naqdain atau tidak. Golongan Syafi’iyah berpendapat bahwa fulus tidak termasuk naqd, sedangkan Mazhab Hanafi berpendapat bahwa naqd mencakup fulus.
Dalam sejarah perekonomian Islam, mata uang sudah mulai dikenal di awal kekhalifahan. Hal itu bisa di lihat ketika masa khalifah Umar dan Utsman r.a., mata uang telah dicetak dengan mengikuti gaya dirham
[1] Dr.Agustianto, M.Si, Percikan Pemikiran Ekonomi Islam : Respon Terhadap Persoalan Ekonomi Kontemporer, Bandung:Citapustaka Media, 2002.
[2] H.farid Wadjdy, M. Pd dan Mursyid, M.Si, Wakaf dan Kesejahteraan Umat, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2007. Hal. 66-68
Untuk Artikel selengkapnya Klik disini