Oleh: Muhammad Azmi, S.Ag
( Peg. Honorer MS. Meureudu )
Islam sebagai agama yang memberikan rahmatan lil’alamin bagi segenap umatmanusia didunia diturunkan dengan maksud untuk menyelamatkan manusia dari kebathilan dan kemusyrikan. Hal ini ditandai dengan diturunkannya ayat-ayat suci Al-Qur’an pada masa kepemimpinan Nabi Muhammad SAW yang berlaku sebagai ajaran norma dan nilai untuk menjalankan kehidupan, baik dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi yang kedua-duanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain; keduanya harus diraih dalam batas-batas kodrat kemanusiaan. Al-Qur’an secara harfiah berarti “bacaan“ atau “hafalan”, atau dalam tafsiran lain bisa diartikan sebagai “kitab-kitab yang berisi firman Allah SWT yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW dalam bahasa Arab dan sampai kepada kita (umat muslim) melalui periwayatan yang tidak putus atau (tawatur) .Dalam konteks kehidupan duniawi, kita sebagai seorang muslim pastinya menyadari bahwa Al-Qur’an sebagai kitab pedoman umat muslim memiliki tujuan dasar untuk menjaga jiwa, akal, keturunan umat manusia, harta kekayaan, dan agama itu sendiri Dalam konteks keturunan, Al-Qur’an memberikan petunjuk bagi umatnya untuk menikah, membentuk keluarga sakinah dan warrahmah guna menghasilkan keturunan yang baik. Maka tidak salah bila dikatakan bahwa perkawinan memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia, tidak hanya sebagai legalitas hubungan badan semata namun merupakan suatu bentuk perbuatan hukum yang berawal dari perikatan lahir dan bathin antara laki-laki dan perempuan yang dilakukan tanpa ada paksaan maupun suruhan oleh orang lain, ini merupakan suatu bentuk perjanjian yang sakral karena dilegalkan oleh agama sebagai keyakinan trasendental kedua mempelai. Hal ini dipertegas dalam Surah An-Nisa Ayat 19 yang menyatakan:
“Wahai orang-orang yang beriman! Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaulah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadikamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah memberikan kebaikan yang banyakpadanya”
mengubah sistem poligami menjadi monogami dan sekaligus sebagai sarana efektif untuk melindungi kedudukan wanita dalam keluarga supaya lebih terlindungi darieksploitasi laki-laki dalam hubungan sebagai suami istri. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 ayat 1, yang menyatakan: (1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Namun pemakaian asas monogami dalam UU tersebut tidaklah dilakukan dengan tegas, bahkan ada yang beranggapan bahwa asas monogami tersebut bersifat terbuka , dalam artian poligami masih tetap dilegalkan (sah) erhadap orang yang menurut hukum dan agama (Islam) yang dianutnya mengizinkan seorang suami beristri lebih dari seorang. Dengan demikian UU ini tersebut juga pro terhadap poligami, seperti yang dapat dipahami dalam Pasal 3 Ayat 2, yang menyatakan: (2) Pengadilan, dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari satu seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.Dari kedua ayat-ayat diatas, dapat dianalisa perihal politik hukum pembentukanUU Perkawinan tersebut yang dapat dikategorikan sebagai UU yang responsif, dalam artian UU tersebut merupakan suatu produk hukum yang dihasilkan dari aspirasi-aspirasi yang hidup dimasyarakat (terutama umat muslim) pada umumnya. Namun bukan berarti UU tersebut tidak memiliki cela, konsewensi dari dianutnya asas monogami terbuka adalah hilangnya konsistensi dari pemerintah untuk melaksanakan asas monogami, pemerintah terlihat ragu dalam memilih antara asas poligami ataukah asas monogami. Sehingga UUtersebut cenderung terlihat “abu-abu”, selain itu UU tersebut juga membawa dampak psikologis bagi para wanita yang merasa kurang terlindungi hak-haknya dari ancaman praktek poligami, walaupun izin untuk melakukan poligami dilandasi oleh perjanjian, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 5 Ayat 1, namun perjanjian tersebut dirasa masih belum cukup dapat memberikan rasa adil dalam berpoligami. Praktek poligami, secara historis dan kultural tidak dapat dipisahkan oleh budaya patriarki, yang tidak hanya dianut oleh masyarakat Arab pra-Islam dan suku-suku nomadent di Afrika bagian Timur, namun juga merujuk kepada sistem yang secara historis berasal dari hukum Yunani dan Romawi, dimana suami sebagai kepala rumah tangga memiliki kekuasaan hukum dan ekonomi yang mutlak (untouchable) atas semua anggota keluarganya. Patriakhi tersebut pada perkembangannya menjadi suatu gerakan dominasi (dominance movement) pris/suami atas wanita/istri dan anak-anak didalam keluarga dan ini berlanjut kepada dominasi pria/suami terhadap semua lingkup kemasyarakatan lainnya. Relasi yang mengikuti budaya patriarki, adalah relasi patron-clan; atau ketertundukan, kesakralan perintah suami/pria terhadap istri/wanita dan anak-anaknya. Relasi inilah yang pada akhirnya menimbulkan ketidak adilan dan kesewenangan didalam rumah tangga.Seorang wanita dalam kedudukannya sebagai seorang istri, hendaknya dipandang sebagai sebuah bagian terpenting dalam suatu keluarga. Karena mereka memainkan peran yang sangat signifikan terhadap tumbuh kembangnya keluarga dan anak-anak mereka. Suami dan istri dalam suatu keluarga hendaknya tunduk kepada suatu prinsip kesetaraan, persamaan, keadilan dan kemitraan dalam berkeluarga, yang nantinya akan menciptakan suasana harmoni dan tidak menimbulkan perasaan ekstrimitas diantara keduannya. Kesetaraan dalam hubungan suami istri meliputi kesetaraan dalam hal kedudukan dalam tata hukum dan undang-undang nasional,begitu pula dalam pola relasi hidup sehari-hari dalam keluarga dan masyarakat dimana tidak ada diskriminasi antara suami terhadap istrinya. Prinsip kedua, menurut penuli ssangat urgent untuk diperhatikan adalah prinsip keadilan dalam berumah tangga.Seorang suami sebagai kepala rumah tangga dituntut untuk dapat berlaku adil terhadap strinya dan terhadap anak-anak mereka, barometer keadilan inilah yang sangat sulit dipenuhi oleh keluarga poligami, walaupun ada beberapa pihak (suami) yang meng-klaim sudah berlaku adil terhadap istri-istrinya. Anjuran untuk berlaku adil juga diamanahkan dalam Al-
Qur’an, surah Al-A’raf Ayat 29, yang menyatakan:
“Katakanlah, “Tuhanku menyuruhku berlaku adil. Hadapkanlah wajahmu (kepada Allah)pada setiap shalat, dan sembahlah Dia dengan mengikhlaskan ibadah semata-matahanya kepada-Nya. Dan kamu akan dikembalikan kepadanya sebagaimana kamu diciptakan semula”
Sedangkan prinsip persamaan dan kemitraan dalam berkeluarga dipandang sebagai sebuah kondisi dimana suami dan istri memiliki kesamaan hak dan kewajiban yang terwujud dalam kesempatan, kedudukan, peranan yang dilandasi oleh sikap danperilaku saling bantu membantu, dan saling mengisi disemua bidang kehidupan .Prinsip-prinsip diatas bertujuan untuk menciptakan hubungan yang harmonis,berkeadilan dan mewujudan kemitra sejajaran yang merupakan tanggung jawab bersama suami dan istri.
Kesimpulan:
Fenomena poligami, yang marak diperbincangkan saat ini hendaknya dimaknai secara lebih dewasa dan komprehensif, dan janganlah terjebak pada suatu penafsiran terhadap teks-teks Al-Qur’an dengan cara yang sempit dan tekstual semata. Namunharuslah ditafsirkan dengan menggunakan akal, logika, dan secara kontektual sehingga dapat dimaknai sesuai dengan Asbabul Nuzul yang diinginkan oleh Allah SWT. Wanita, sebagai salah satu ciptaan Allah SWT, pastinya diciptakan dengan tujuan tertentu, yang pasti mulia dan penting bagi kehidupan dan keseimbangan kosmos dan kosmik di alam semesta ini. Hendaknya juga mereka dihormati sesuai dengan kodrat dan perannya baik dalam lingkup privat/keluarga maupun lingkup publik/masyarakat.