Meureudu-23/08/2023, Bertempat di Mahkamah Syar’iyah Jantho, Para Hakim serta Pejabat Kepaniteraan Mahkamah Syar’iyah Meureudu menghadiri acara diskusi hukum wilayah 1 Mahkamah Syar’iyah Aceh.
Melalui surat undangan dengan nomor W1-A/2092/HK.05/VIII/2023, Mahkamah Syar’iyah Meureudu menugaskan Saleh Umar, S.H.I (Ketua), Syakdiah, S.H.I.,M.H (Wakil Ketua), Mira Maulidar S.H.I.,M.H (Hakim), Badriyah S.H.,M.H (Panitera), Hasanah, S.H (Panmud Permohonan) dan Marlaini, S.H.I (Panmud Gugatan) untuk menghadiri forum diskusi tersebut.
Acara yang bertemakan “Eksistensi dan Perkembangan Hukum Waris Islam serta Teknik Penanganan Perkara Waris” ini juga dihadiri oleh Hakim Agung Kamar Agama Mahkamah Agung RI, DR Edi Riadi, dan Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh, DR. Rafi’uddin.
Selain Para Hakim dan Pejabat Kepaniteraan dari MS Meureudu, kegiatan ini juga dihadiri Para Hakim dan Pejabat Kepaniteraan di wilayah I, yaitu MS Jantho, MS Sabang, MS Calang, MS Banda Aceh dan MS Sigli.
Ketua MS Jantho, DR. Muhammad Redha Valevi menyebutkan diskusi tersebut bertujuan untuk mencari kesepahaman bagi para Hakim Syar’iyah di Aceh dalam memutuskan perkara waris.
“Kita tahu Aceh pernah dilanda tsunami, jadi ada beberapa level waris yang menjadi hilang karena gempa dan tsunami tersebut, sehingga ada perdebatan-perdebatan selanjutnya yang sampai hari ini belum selesai,” ungkap Redha.
Selain itu, pembangunan tol di wilayah Aceh Besar turut memicu sengketa ahli waris. Apalagi dalam perkara ahli waris terdapat beberapa generasi yang hilang akibat tsunami dan juga konflik Aceh.
Hakim Agung RI, DR. Edi Riadi menuturkan, bagi hakim hukum waris tidak berhenti dalam fikih dan perundang-undangan.
“Tapi harus melihat rasa keadilan masyarakat. Karena itu merupakan suatu amanat dari UU Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan hakim itu harus mempertimbangkan hukum yang hidup dalam masyarakat,” kata Edi.
Menurutnya, hakim harus selalu cepat dan antisipatif terhadap perkembangan hukum atau rasa keadilan yang tumbuh di masyarakat, yang paling utama bagi hakim menegakkan keadilan, beda dengan mufti yang menegakkan hukum.
“Kalau ada hukum yang dirasa masyarakat tidak pas, kita diberi kewenangan oleh Allah untuk meninggalkan hukum itu,” katanya.